Tuesday 16 February 2010

Review Album: Tika and The Dissidents – The Headless Songstress

Mari saya mulai review ini dengan membandingkan Tika and The Dissidents dengan Lamb of God. Bulan Maret lalu, Lamb of God, salah satu band metal yang saya sukai datang ke Jakarta dan tentunya mengadakan konser di sini. Hasilnya, saya kecewa karena mereka bermain tanpa perasaan. Beberapa minggu kemudian saya membeli CD album terakhir mereka, Wrath. Hasilnya, saya kecewa dua kali.

Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan menyaksikan Tika and The Dissidents dalam format akustik di sebuah daerah di Senayan. Hasilnya, saya tercengang, bagus banget! Dan akhirnya saya pun membeli album terbaru mereka, The Headless Songstress, dan bisa ditebak saya tercengang kembali.

The Headless Songstress adalah sebuah album yang dibuat dengan hati. Setiap lagunya dikomposisi secara hati-hati, perlahan-lahan, setiap detail diperhatikan betul, setiap sound yang muncul ditempatkan di tempat yang pas. Saya selalu kagum dengan album yang menampilkan instrumentasi yang tidak standar (baca: gitar, bass drum), namun ada kalanya instrumentasi tersebut ditempatkan hanya untuk menambah nilai jual. Berbeda di sini, setiap nada yang muncul entah itu dari harmonika, akordion, horn section atau lainnya memang diberikan peran signifikan masing-masing. Bahkan paduan suara pun dijadikan instrumen tersendiri.

Tapi itu belum menu utamanya. Sebagai seorang vokalis, Tika dianugrahi vokal yang super bagus. Kelebihan lainnya: ia tau cara menggunakan vokalnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya dienkapsulasi dengan teknik bernyanyi yang pas, sehingga emosi yang ingin dilontarkan pun bisa keluar dengan tepat. Entah itu ketika ia ingin protes, atau ketika vokalnya dibuat santai seolah sedang berbicara satu-satu secara intim dengan pendengarnya. Saya sangat menikmati lirik-lirik di album ini. Kata-katanya sedikit gelap, personal dan terkadang menyinggung topik sosial politik (dengan sedikit menyerempet kiri).

Vokal Tika yang luar biasa itu pun diberikan kendaraan lain agar bisa sampai dengan selamat ke telinga pendengar, perkenalkan bandnya, The Dissidents dan beberapa bintang tamu yang muncul. Serius, di album ini, sangat terasa kekuatan dari yang dinamakan minimalisme. Pernah melihat signifikannya titik di sebuah kertas polos? Bandingkan dengan melihat titik yang sama di sebuah kertas yang penuh garis. Terasa bedanya? Ya itu juga yang saya rasakan ketika mendengar album ini. Bagaimana bunyi piano yang pelan dan hanya beberapa nada bisa menimbulkan efek merinding tersendiri. Simak bagaimana beat yang ngegroove dimainkan di awal album untuk meningkatkan ketertarikan pendengar dan bagaimana bunyi gitar berdistorsi yang diperkenalkan di ujung akhir album untuk membuat flow album naik dan tidak membosankan. Gitar berdistorsi dan groove mungkin menjadi elemen yang sering ditemui di kebanyakan album, namun di album ini bahkan elemen dasar seperti itu pun ditahan agar kemunculannya memberikan dampak tersendiri. Aroma jazz era 50′an pun menyeruak di permainan instrumen di album ini.

Menariknya, semua elemen tadi berhasil diproduksi dengan baik. Sound setiap pemain di dalamnya keluar dengan maksimal dan cenderung sopan. Bahkan untuk hal yang se-subtle pad synthesizer. Sangat rapi. Ketika gitar distorsi menyeruak juga tidak lantas jadi berisik. Slide gitar di lagu terakhir juga berhasil keluar tanpa perlu mengalihkan perhatian pendengar dari vokal Tika.

Akhir kata, ini adalah album yang sempurna. Perlu saya kemukakan, meskipun ada beberapa lagu di sini yang berbahasa inggris, entah mengapa saya merasa album ini Indonesia sekali. Dan oh iya, packagingnya juga sangat menarik. Album sleevenya berisi gambar-gambar yang cukup jadul dan diberi bungkus dari kain. Semua ini membuat saya ingin datang ke acara live music top 40 yang marak di TV swasta sambil membawa megaphone dan berteriak ke band yang sedang tampil “ngapain sih lo?”.

by Didit (Apres 2004) from http://mataharipert ama.wordpress. com

0 comments:

Post a Comment